ONTOLOGI (METAFISIKA, ASUMSI, DAN PELUANG)
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.
Menurut Hornby (1974), filsafat adalah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari pencarian pengetahuan tentang watak dan makna kemaujudan atau eksistensi. Filsafat dapat juga diartikan sebagai sistem keyakinan umum yang terbentuk dari kajian dan pengetahuan tentang asas-asas yang menimbulkan, mengendalikan atau menjelaskan fakta dan kejadian. Secara ringkas, dengan demikian, filsafat diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu makna.Hornby menyatakan pula bahwa pengetahuan ialah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi jelas mengenai kebenaran atau fakta. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang diatur dan diklasifikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem pengetahuan, berdasar rujukan kepada kebenaran atau hukum-hukum umum.
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan/penelitiannya. Dari hasil pengamatan/penelitian ini akan dihasilkan teori dan dapat pula pengamatan/penelitian ini pula ditujukan untuk menguji teori yang ada. Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal.
Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajian hal-hal normatif. Ilmu pengetahuan hanya membahas segala sisi yang sifatnya positif semata. Hal-hal yang bekaitan dengan kaedah, norma atau aspek normatif lainnya tidak dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan. Dengan demikian, agama sebagai misal, karena sifat normatifnya yang mutlak dan mengandung kebenaran yang tidak bisa dipertentangkan, bukan bagian dari ilmu pengetahuan.
Bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh? Ilmu pengetahuan dihasilkan dari perilaku berfikir manusia yang tersusun secara akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian.
Berfikir merupakan kegiatan penalaran untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan atau pengalaman dengan maksud tertentu. Makin luas dan dalam suatu pengalaman atau pengetahuan yang dapat dieksplorasi, maka makin jauh proses berfikir yang dapat dilakukan. Hasil eksplorasi pengetahuan digunakan untuk mengabstraksi obyek menjadi sejumlah informasi dan mengolah informasi untuk maksud tertentu.
Berfikir merupakan sumber munculnya segala pengetahuan. Pengetahuan memberikan umpan balik kepada berfikir. Hubungan interaksi antara berfikir dan pengetahuan berlangsung secara sinambung dan berangsur meninggi, dan kemajuan pengetahuan akan berlangsung secara kumulatif. Bagian terpenting dari berfikir adalah kecerdasan mengupas (critical intelegence). *Ontologi ilmu, suatu analisis filsafat tentang kenyataan dan keberadaan yang berkaitan dengan hakikat “ada”.
*Episomologi ilmu, suatu teori tentang pengetahuan yang berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan dan metode keilmuan.*Aksiologi ilmu, suatu teori tentang nilai atau makna.
Untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dari proses berfikir yang benar, dalam arti sesuai dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, maka seorang pengamat atau peneliti harus menggunakan penalaran yang benar dalam berfikir. Hasil penalaran itu akan menghasilkan kesimpulan yang dianggap sahih dari sisi keilmuan.
Secara definisi, nalar merupakan kemampuan atau daya untuk memahami suatu informasi dan menarik kesimpulan. Dengan nalar tersebut, sesorang akan dapat menyajikan gagasan atau pendapat secara tertib, runtut, teratur dan mengikuti struktur yang sifatnya logis (mantik). Dengan nalar, ilmu dapat berfungsi menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan keadaan atau kejadian.
Pada dasarnya terdapat dua bentuk penalaran; deduksi dan induksi. Deduksi berpangkal pada suatu pendapat umum, berupa teori, hukum atau kaedah dalam menyusun suatu penjelasan tentang suatu kejadian khusus atau dalam menarik suatu kesimpulan. Deduksi bertujuan untuk mencari kesahihan (validitas) suatu informasi, bukan pada kebenarannya. Maka kesahihan struktur argumentasi adalah pokok dalam penalaran deduktif, terlepas dari benar atau tidaknya pangkal pendapat yang dirujuk. Karena rujukannya tersebut sudah pasti, maka deduksi akan menghasilkan ungkapan atau kesimpulan yang berkepastian secara logis. Kelemahan metode penalaran ini adalah kurang mampu membawa hasil penalaran ke pembentukan pendapat atau ide baru.
Induksi berpangkal pada sejumlah fakta empirik untuk menyusun suatu penjelasan umum, teori, atau kaidah yang berlaku secara umum di masyarakat. Karena tidak mungkin untuk mengamati keseluruhan fakta yang ada, terutama pada fakta yang muncul dikemudikan hari, kesimpulan induktif hanya akan dapat mencapai kebenaran yang sifatnya probabilistik. Kesahihan pendapat induktif ditentukan secara mutlak oleh kebenaran fakta yang dijadikan pangkal penalaran. Namun demikian, induksi memiliki peluang untuk menciptakan teori baru.
Jika induksi dan deduksi dapat digabungkan menjadi satu kesatuan struktur penalaran, maka penalaran akan menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, kekurangpastian dari logika induksi akan dapat dikompensasi oleh kelebih pastian logika deduksi. Demikain pula, kekurangmampuan metode deduksi dalam melahirkan teori baru akan terkompensasi oleh kemampuan yang lebih pada metode induksi untuk melahirkan teori baru (Tejoyuwono, 1991).
1 komentar:
terima kasih ya atas ilmu nya,,
berguna sekali..
sekali lagi terima kasih
Posting Komentar